Memutus Rantai Pernikahan Anak

                                                                                                    (dok.internet)

Belum lama ini, dua remaja SMP laki-laki (15) dan perempuan (14) asal Bantaeng Sulawesi Selatan, sedang menjadi trending topic di media sosial. Kabar yang tersebar, dua remaja itu mengajukan pernikahan dengan alasan karena takut tidur sendiri. Permohonan dispensasi kedua remaja itu ditolak oleh pihak KUA karena alasan usia. Namun setelah mengajukan ke Pengadilan Agama permohonan mereka dikabulkan.

Dalam Konstitusi, pernikahan diperbolehkan apabila laki-laki telah berusia 19 tahun dan perempuan telah berusia 16 tahun (UU Perkawinan Pasal 7 Ayat 1). Usia itu dianggap standar ideal, melihat perkembangan anak dari fisik dan mental. Namun Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menilai jika usia menikah yang ideal di atas 20 tahun.

Diperkuat dengan data BKKBN yang melaporkan 50 persen pernikahan dini berakhir dengan perceraian. Hal itu disebabkan karena remaja belum cukup dewasa untuk berpikir matang dalam menyelesaikan masalah, terlebih pada konflik-konflik rumah tangga. Di usia itu anak ada pada fase kedewasaan awal (20- 40 tahun), usia reproduksi paling sehat pada manusia. Tanda seks sekunder seperti vagina, ukuran rahim dan kematangan emosional sudah matang.

Menurut Hurlock, seseorang dikatakan dewasa bila telah memiliki kekuatan tubuh secara maksimal, siap berproduksi, dan telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif, afektif, dan psikomotor, serta dapat diharapkan memainkan peranannya bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat.

Pernikahan Anak Meningkat

Angka pernikahan anak di Indonesia masih tinggi. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2015, pernikahan anak sempat menurun 22,8%, artinya sejumlah 22,8% penduduk Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. Dua tahun selanjutnya, di tahun 2017 angka pernikahan anak meningkat hingga 2,9%, mengubah angka sebelumnya menjadi 25,7%.

Berlangsungnya pernikahan anak terjadi dikarenakan beberapa faktor, di antaranya ekonomi, lingkungan dan tradisi. Ekonomi menjadi alasan orang tua untuk menghindar dari peliknya kondisi keluarga, dengan harapan akan mencapai keamanan sosial dan finanasial setelah anaknya menikah. Lingkungan biasanya disebabkan oleh bebasnya pergaulan anak dengan lawan jenisnya. Kasus yang banyak terjadi, anak kurang mendapat kontrol dari orang tua. Sedangkan faktor tradisi, lemahnya kemampuan berpikir dan mental orang tua dalam melawan dogma yang berkembang.

Padahal ketidaksiapan anak menikah diusia muda menimbulkan beberapa dampak negatif, misalnya putusnya pendidikan anak, mengganggu kesehatan reproduksi, perceraian diusia muda, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Kejadian ini seakan berjalan resiprokal dan terus kontinyu.

Dampak pernikahan dini pada suami isteri adalah tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami isteri. Hal tersebut timbul karena belum matangnya mental mereka yang notabene emosinya masih labil sehingga keduanya cenderung memiliki sifat keegoisan yang tinggi. Selain itu akan menimbulkan berbagai persoalan rumah tangga seperti pertengkaran, percecokan, bentrokan antar suami isteri yang dapat mengakibatkan perceraian (Maemunah 2008).

Berlangsung pernikahan harus diselaraskan dengan kesiapan fisik dan mental kedua calon, seperti yang diungkapkan Duvall dan Muller, kesiapan mental untuk menikah mengandung pengertian-pengertian kondisi prikologi emosional untuk siap menanggung resiko yang timbul selama hidup dalam pernikahan, misalnya pembiayaan ekonomi, memelihara dan mendidik anak-anak dan membiayai kesehatan keluarga.

Upaya Orang Tua

Pada dasarnya dispensasi pernikahan anak sebelum ke ranah pengadilan, sepenuhnya atas izin orang tua atau wali. Pernikahan di bawah usia 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, atau izin salah satu orang tua jika ternyata salah satu orang tua sudah meninggal, atau wali jika kedua orang tua sudah meninggal (Pasal 6 Ayat 2 UU Perkawinan). Dengan begitu, orang tua perlu mempertimbangkan alasan pernikahan anak sebelum ke pengadilan.

Orang tua perlu mengetahui bahwa penikahan usia dini mempunyai peluang besar merusak masa depan anak. Dengan pernikahan dini, jenjang pendidikan anak akan terampas dan terputus hingga mengambil hak anak untuk berkembang. Data dari Unicef dan BPS sejumlah HAM atas keberlangsungan pernikahan anak di antaranya, hak atas pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak atas kesehatan, hak untuk dilindungi dari eksploitasi dan hak untuk tidak dipisahkan dari orang tua.

Selain hal itu, pernikahan anak dapat meningkatkan resiko keguguran, kematian bayi, kanker seviks, penyakit kelamin hingga gangguan mental akibat tekanan sosial dalam menanggung tanggung jawab orang dewasa.

Dalam hal ini, orang tua perlu mendampingi anak secara intensif pada masa pertumbuhannya. Jika rumpun ilmu sain, sosial, agama dan  wawasan kebangsaan bisa anak dapatkan di lembaga pendidikan formal. Orang tua lebih pada pendampingan belajar di rumah, kaitannya dengan support dan perkembangan karakter. Hal itu sesuai dengan teori zone of of proximal development, bahwa anak akan lebih berkembang dalam proses pembelajaran ketika didampingi orang tua.

Dengan begitu, pribadi anak akan terbentuk oleh religiotas, moralitas, sains dan wawasan kebangsaan. Masyarakat akan menaati Konstitusi yang berlandaskan nilai-nilai hukum dan sosial yang terangkup dalam UU Perkawinan.

Fajar Bahruddin Achmad

Selebaran Kertas – Puisi Fajar Bahruddin

Ilustrasi: (Dok. Google)

Dari ujung timur

Berlari tertatih seorang anak

 

Buram aku menatap hadirnya

Ia kujurkan tangan, berikan selebaran kertas

Kutatap lekat tiap gores tinta itu

 

Atap bumi, tuangkan keabadian

Ditiap angan peri-peri kecil tertawa

Tak pernah luput pengharapan

Habispun tidak, dia hidup

 

Kau datang kembangkan senyum

Beserta puisi untukku

 

2016

 

Secangkir Kopi

 

Secangkir Kopi,

Wajahmu membayang dipermukaan

Terselip diantara senduk dan gula

 

Bagai lenguh gurun pasir

Mengusir perang

Peluru meleset

 

Diseretnya cahaya hitam

Membawa malam tambah hitam

 

2013

 

FAJAR BAHRUDDIN ACHMAD, pegiat sastra kelahiran, Tegal, 16 November 1995. Selain aktif menulis di blognya http://dawuhpetruk.blogspot.co.id/, turut aktif di kampung sastra soeket teki SKM Amanat UIN Walisongo Semarang.

Melukis Oikos- Puisi Fajar Bahruddin

 

Ilustrasi: Dok. Google

1
Oikos masih saja tetap bersembunyi di balik sebuah kuas dan kanvas.
Berjajar, tubuh elok Oikos, puluhan memenuhi ruang pameran yang
dipenuhi kaum patriarki dan kapitalis. Tiap tubuh menjadi pilar, melekuk
penuh tonjol seksualitas kaum hawa. Penuh ragam, Oikos, perempuan-
perempuan itu berpose tanpa helai penutup.

Ruang pameran masih penuh pengunjung, tiap jemari terpikat terarah
pada Oikos. Si patriarki menunjuk tubuh Oikos, mengepal telapak lengan
kirinya melahap air liurnya kembali. Tatapan patriarki memburu menghalau
keburaman mata seperti burung hantu. Kepulan ambisi membendung,
muntahkan keinginan jadikan Oikos pesuruh.

Oikos, perempuan ladang emas si kapitalis menghimpun kerakusan dari
rahim kesuburan. Dengan langkah semampai, merapatkan jemari
menyangga dagu berbisik pelan “perfect”. Kepuasan, kerakusan, kuasa
alam bawah sadar si kapitalis. Penuh anggapan, mendekati Oikos berbisik
“Jangan risau, berapapun katakanlah.”

Ia Oikos, perempuan yang selalu terasingkan tiap peralihan masa.
Perempuan Oikos masa kini penuh lebam dan goresan dalam sembunyi.
Alih-alih penuh warna menghiasi permukaan Oikos era kini. Keelokan
permukaan, menimbun masa penuh kesuburan dalam alam. Pupuk malu
yang memudar, menghentikan siklus kesuburan Oikos.

2
Masih saja menatap serat lukisan-lukisan penuh pandang. Perempuan
pada hilir masa, menjumpa isak nestapa tanpa akhir penyelesaian.
Akhir batas bergeming usai, ia menemui tubuhnya pada suatu keseimbangan.
Pujaan, menjadi puji kelestarian terikat manusia dalam lingkungan.

3
ia setuju, kebaradaannya tak lain sekedar tempat pelampiasan.
Jumlah, meningkat, beranak pinak sesak penuhi bumi nusantara.
Melintas lambat nan budaya-budaya simpang-siur jauhkan kearifan
lokal. Wajar Oikos geming tanpa helai kain, murah bagai tak ternilai.

Ia melepaskan helai demi helai kebaya pendahulu. Ia iringi wajah
palsunya selayang senyum belaka purna. Sedikit demi sedikit kulit kuning
langsat itu tergores. Banyak goresan mengenainya, namun ia tutupi semua
pada kepalsuan: mall, supermarket, kosmetik ataupun fesyen.

4.
“Oikos adalah perempuan perwujudan dari bumi,” kata sang pelukis.
ia perempuan-perempuan masa kini, penuh kesibukan tumpul integritas
maupun karya. Semasa hidup, cukup tubuh dan nafsu menjadi pemuas diri
pada batas usia. Sore diakhir penghujung pameran, pelukis bertutur
tubuh telanjang Oikos perumpamaan bumi yang rusak.

2017

Puisi Melukis Oikos, mencoba mendeskripsikan sebuah lukisan perempuan telanjang yang tertindas dan dieksploitasi oleh struktur patriarki dan kapitalisme. Perempuan telanjang diibaratkan sebuah Oikos “Habitat Makhluk Hidup,” yang kini telah rusak akibat tidak berpihaknya budaya baru pada ekologi. Masyarakat modern memandang perempuan sebatas tubuh dan seksualitas yang bernilai murah. Perempuan banyak terlalaikan oleh produk-produk kapitalis yang sejatinya membuat harga diri mereka jatuh. Imbasnya kini kecantikan mereka didikte oleh kosmetik dan fesyen, bukan diukur dari integritas dan karya.

Ide tersebut, berangkat dari ungkapan Dewi Candraningrum, Aktivis Ekofemenisme di Solo, bahwa kini bumi telah rusak karena budaya tidak berpihak pada ekologi. Pada gilirannya nanti, kerusakan lingkungan akan berimbas pada rusaknya tubuh-tubuh. Pada akhirnya, krisis ekologi telah memunculkan abnormalitas baru pada tubuh, seperti ragam kanker yang kini sedang marak.

Budaya baru tanpa disadari telah mengasingkan manusia dan tubuhnya sendiri.