Melukis Oikos- Puisi Fajar Bahruddin

 

Ilustrasi: Dok. Google

1
Oikos masih saja tetap bersembunyi di balik sebuah kuas dan kanvas.
Berjajar, tubuh elok Oikos, puluhan memenuhi ruang pameran yang
dipenuhi kaum patriarki dan kapitalis. Tiap tubuh menjadi pilar, melekuk
penuh tonjol seksualitas kaum hawa. Penuh ragam, Oikos, perempuan-
perempuan itu berpose tanpa helai penutup.

Ruang pameran masih penuh pengunjung, tiap jemari terpikat terarah
pada Oikos. Si patriarki menunjuk tubuh Oikos, mengepal telapak lengan
kirinya melahap air liurnya kembali. Tatapan patriarki memburu menghalau
keburaman mata seperti burung hantu. Kepulan ambisi membendung,
muntahkan keinginan jadikan Oikos pesuruh.

Oikos, perempuan ladang emas si kapitalis menghimpun kerakusan dari
rahim kesuburan. Dengan langkah semampai, merapatkan jemari
menyangga dagu berbisik pelan “perfect”. Kepuasan, kerakusan, kuasa
alam bawah sadar si kapitalis. Penuh anggapan, mendekati Oikos berbisik
“Jangan risau, berapapun katakanlah.”

Ia Oikos, perempuan yang selalu terasingkan tiap peralihan masa.
Perempuan Oikos masa kini penuh lebam dan goresan dalam sembunyi.
Alih-alih penuh warna menghiasi permukaan Oikos era kini. Keelokan
permukaan, menimbun masa penuh kesuburan dalam alam. Pupuk malu
yang memudar, menghentikan siklus kesuburan Oikos.

2
Masih saja menatap serat lukisan-lukisan penuh pandang. Perempuan
pada hilir masa, menjumpa isak nestapa tanpa akhir penyelesaian.
Akhir batas bergeming usai, ia menemui tubuhnya pada suatu keseimbangan.
Pujaan, menjadi puji kelestarian terikat manusia dalam lingkungan.

3
ia setuju, kebaradaannya tak lain sekedar tempat pelampiasan.
Jumlah, meningkat, beranak pinak sesak penuhi bumi nusantara.
Melintas lambat nan budaya-budaya simpang-siur jauhkan kearifan
lokal. Wajar Oikos geming tanpa helai kain, murah bagai tak ternilai.

Ia melepaskan helai demi helai kebaya pendahulu. Ia iringi wajah
palsunya selayang senyum belaka purna. Sedikit demi sedikit kulit kuning
langsat itu tergores. Banyak goresan mengenainya, namun ia tutupi semua
pada kepalsuan: mall, supermarket, kosmetik ataupun fesyen.

4.
“Oikos adalah perempuan perwujudan dari bumi,” kata sang pelukis.
ia perempuan-perempuan masa kini, penuh kesibukan tumpul integritas
maupun karya. Semasa hidup, cukup tubuh dan nafsu menjadi pemuas diri
pada batas usia. Sore diakhir penghujung pameran, pelukis bertutur
tubuh telanjang Oikos perumpamaan bumi yang rusak.

2017

Puisi Melukis Oikos, mencoba mendeskripsikan sebuah lukisan perempuan telanjang yang tertindas dan dieksploitasi oleh struktur patriarki dan kapitalisme. Perempuan telanjang diibaratkan sebuah Oikos “Habitat Makhluk Hidup,” yang kini telah rusak akibat tidak berpihaknya budaya baru pada ekologi. Masyarakat modern memandang perempuan sebatas tubuh dan seksualitas yang bernilai murah. Perempuan banyak terlalaikan oleh produk-produk kapitalis yang sejatinya membuat harga diri mereka jatuh. Imbasnya kini kecantikan mereka didikte oleh kosmetik dan fesyen, bukan diukur dari integritas dan karya.

Ide tersebut, berangkat dari ungkapan Dewi Candraningrum, Aktivis Ekofemenisme di Solo, bahwa kini bumi telah rusak karena budaya tidak berpihak pada ekologi. Pada gilirannya nanti, kerusakan lingkungan akan berimbas pada rusaknya tubuh-tubuh. Pada akhirnya, krisis ekologi telah memunculkan abnormalitas baru pada tubuh, seperti ragam kanker yang kini sedang marak.

Budaya baru tanpa disadari telah mengasingkan manusia dan tubuhnya sendiri.

 

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *